Kamis, 06 Maret 2014

Katakan, Ini Bukan Cinta - Cerpen Remaja



Persahabatan ini bisa disebut persahabatan 2 sejoli yang sudah terjalin sangat lama. Mereka mulai bersahabat semenjak orangtua dari keduanya saling mengenal akrab dan kebetulan rumah mereka berdekatan. Namun, seiring berjalannya waktu, masa kanak-kanak mereka kini telah dimakan olehnya. Gaby, gadis berambut pirang emas dan bermata hijau itu kini mulai menyimpan secercah harapan lebih dari seorang teman kepada Joey, sahabatnya. Joey adalah lelaki yang berusia 1 tahun lebih tua dari Gaby, berambut dirty blonde dan bermata abu-abu. Sang Dewi Cinta kini telah menaburkan cupid-cupid di antara mereka. Atau mungkin hanya kepada Gaby atas Joey.
Perasaan itu mulai muncul ketika Gaby menginjak usia 12 tahun. Bukan waktu yang singkat mengingat kini usianya hampir 16 tahun. Bodohnya, Joey hingga kini tak pernah menyadari akan perasaan gadis itu. Joey setiap hari memberi hadiah boneka untuk Gaby. Ia memberi boneka yang pertama ketika Gaby berulang tahun yang ke 15. Waktu itu, Gaby sangat senang menerima hadiah itu, namun setelah beberapa bulan Gaby juga merasa bosan. Hingga suatu hari, setelah keluarga mereka melakukan barbeque party di belakang rumah, “Joey!” panggil Gaby. “Ya?” jawab lelaki itu dengan menggigit bibir bawahnya. Sinar remang bulan purnama di tengah musim gugur ini menemani perbincangan dingin di antara keduanya. Gaby merapatkan sweaternya. Ia menunduk. Sebentar kemudian, ia mengangkat wajahnya, namun seperti kehilangan keberanian, ia justru kembali menunduk. Semakin dalam. “Ada apa?” tanya Joey mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba saja menyergap di antara keduanya. “Tidak,” jawab Gaby singkat, namun ia ragu akan jawaban yang baru saja dilontarkannya. “Baiklah,” rangkum Joey lalu melangkah sedikit kaku meninggalkan Gaby. “JOEY! AKU MENCINTAIMU, TAK SADARKAH KAU AKAN HAL ITU?!” kata Gaby tiba-tiba. Langkah Joey terhenti mendengar kata-kata tersebut. Tenggorokannya tercekat, namun ia mencoba untuk terlihat biasa dan tidak terkejut. Ia berbalik. Lalu menatap Gaby lekat-lekat. “Aku tak pernah mengenal cinta. Menurutku jika aku menyayangimu, dan kau juga menyayangiku. Kita juga saling memahami, itu sudah melebihi cinta,” kata Joey dengan suara yang sedikit parau, meskipun ia sudah mencoba setengah mati agar suaranya terdengar biasa saja. Gaby mulai menangis. Joey menyadari kekeliruannya, namun ia tak menemukan kata-kata yang tepat untuk meralat omongannya atau sekedar meminta maaf, jadi ia hanya memutuskan untuk merangkul gadis itu, berharap semoga Gaby segera menghentikan tangisnya. “Jangan peluk aku jika kau tak mengarapkanku,” kata Gaby lalu menarik dirinya menjauhi Joey. “Hei ada apa?” tanya Joey heran. Gaby berlari menuju rumahnya. Berharap lelaki itu akan mengejarnya, namun..... tidak.
Di sekolah, Gaby sama sekali tak berniat berbicara pada Joey, meskipun hanya sebatas mengatakan ‘hai’. Joey mencoba mengajaknya berbincang, namun gagal. Hari demi hari, Gaby mulai bisa melupakan kejadian itu. Kini mereka telah menjadi sahabat lagi. Namun.... tak lebih. Maka dari itu, Gaby mulai mencoba untuk mengubur perasaan sia-sia tersebut.
Suatu hari, pada hari ulang tahun Gaby yang ke 16, di jalan dekat taman kota, ketika Gaby sedang berjalan-jalan, ia melihat Joey berjalan dengan seorang gadis. Gaby mencoba menebak siapa gadis itu. Cantik, berambut hitam kecoklatan dengan kulit putih, namun tak seputih orang inggris seperti biasanya. Bukan keturunan asli inggris, batinnya. Mungkin darah campuran asia-eropa. Gaby merasa ada sesuatu yang baru saja meninju hatinya, ada sesuatu yang ingin keluar dari mata hijaunya. Ia merasa teriris. Ia baru saja menyadari bahwa.... rasa itu masih ada, di dalam hati Gaby yang paling dalam, yang selama ini ia coba untuk tutupi. Namun, ketika melihat Joey bersama gadis itu, tembok yang Gaby bangun dengan susah payah telah ambruk hanya dengan sekali sentakan. Gaby berlari pulang, berharap Joey tak melihatnya, berharap Joey tak melihat air mata gadis itu tumpah di depannya, untuk lebih tepatnya. Gaby menghabiskan sisa harinya di kamar. Menangis.
Kini malam telah menjemputnya, hari pertamanya dengan usia 16 tahun telah dihancurkan oleh seorang Joey. Hati Gaby kembali teriris. Ia mencoba untuk melupakan Joey dengan masalah-masalah yang akhir-akhir ini menghujaminya. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, ia ingin melupakan hiruk-pikuk Kota Leicester. Dering telepon genggam menyadarkannya dari lamunan. Dari Joey. Gaby tak berniat mengangkatnya. Namun Joey bukan sosok lelaki yang mudah menyerah, ia menelepon beberapa kali lagi, hingga Gaby mengangkatnya. “Hey, bisakah kau keluar dan berjalanlah ke halte bus dekat coffe shop sekarang? Ada sesuatu yang ingin kuberikan,” kata seseorang dengan suara yang terdengar agak berat. Gaby menutup telepon itu tanpa perlu menjawabnya. Ia membuka tirai jendela di kamarnya. Benar saja, ia melihat Joey tengah berdiri di sana. Membawa sebuah..... boneka besar. Teddy bear setinggi sekitar 5.5 kaki, kira-kira setinggi tubuh Gaby. Dengan berat hati, Gaby menghampirinya. “Kukira kau takkan datang karena kau marah kepadaku,” sapa Joey ketika ia telah mendapati gadis yang diteleponnya tadi berdiri di depannya dalam balutan sebuah piyama bermotif rumput dandelion dan sebuah beanie putih. “Selamat ulang tahun, Gaby. Kau akan menyukai ini, kujamin,” kata Joey sembari menyodorkan boneka raksasa itu kepada Gaby dengan bangganya. “Dengar Joey, mungkin kau mengira aku akan mengucapkan terimakasih dan menangis meraung-raung karena sangat bahagia, mungkin kau juga mengira aku benar-benar akan menyukai hadian ini, namun tidak. Takkan pernah! Kau dengan boneka-boneka bodoh itu hanyalah sebuah bayangan untukku! Sebaiknya kau jangan menghubungiku lagi, anggap saja kita memang tak pernah saling mengenal, dan takkan pernah lagi!” kata Gaby lalu melempar boneka besar itu ke tengah jalan yang kebetulan sedang sepi. Joey terperangah mendengar perkataan Gaby tersebut. Ia meneteskan air matanya. Lalu ia berjalan ke tengah jalan dan mengambil boneka itu. Sebentar kemudian, ia berkata dengan sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, “Gaby, kudengar jika kita memohon pada hari ulang tahun kita, segala permohonan akan dikabulkan. Kau telah memohon, dan aku ingin mewujudkannya. Jika ini memang terakhir kalinya aku melihatmu dengan mataku, jangan pernah menangis atau menyesal ketika aku pergi nanti.” Beberapa detik setelah kata-kata itu meluncur dari mulut Joey, sebuah truk melintas, lalu Gaby mendengar klakson yang berbunyi dengan sangat keras. “ JOEY, AWAS!” serunya, namun Joey masih berdiri di tempatnya semula. “JOEEEYYY!!!” teriaknya.
Gaby terbangun dari tidur malamnya yang terburuk. Hanya mimpi, gumamnya. Namun.... ia melihat boneka itu.... boneka itu.... Gaby menahan napasnya sejenak. Ia lalu berjalan menuju jendela di kamarnya yang menghadap langsung ke rumah Joey. Dengan perasaan yang tak menentu, ia membuka tirai jendelanya perlahan-lahan dan ia mendapati banyak sekali orang di rumah Joey. Lalu ia menutup mulutnya dan bergumam.... jadi... ini bukan mimpi. Gaby menangis tersedu-sedu pada hari keduanya dengan umur 16 tahun. Ia benar-benar mencintai Joey. Dan kini, seseorang yang ia cintai itu telah pergi, dan takkan pernah kembali lagi. Hatinya remuk bagai kaca yang baru saja ditinju olehnya.
Ukiran batu kehancuran itu seakan menatap Gaby yang hendak pergi menjauh. Gaby berbalas menatapnya, tenggorokannya kembali terasa tercekat. Gaby menarik napas panjang, berharap mendapat kelapangan hati untuk melepas Joey pergi, untuk selamanya. Namun, Gaby justru merasa semakin lemah, ia terduduk di antara ratusan nisan dalam lautan duka. Gaby kembali membaca nama yang tertera pada nisan tersebut untuk yang kesekian kalinya, ingin mencoba memastikan bahwa itu bukanlah nama Joey. Namun yang dilihatnya adalah.... “Jonathan E. Roberts”, nama Joey. Gaby merasakan raganya berada di sana sekarang, namun tidak begitu dengan jiwa dan hatinya.
Beberapa bulan kemudian, Gaby mulai bisa menerima kenyataan bahwa.... yah... entahlah. Hari ini, 4 tahun yang lalu adalah hari ketika segalanya dimulai, di mana ia mulai menyimpan rasa kepada Joey. Ia memutuskan untuk berada di rumahnya sepanjang hari ini dan tidak pergi ke sekolah. Ia memandang tumpukan boneka pemberian Joey, lalu ia mulai menghitungnya satu per satu, dengan balutan air mata tentunya. 365 buah.... batinnya. Genap 1 tahun Joey memberinya boneka untuk Gaby. Gaby melangkahkan kakinya, namun tidak sengaja menginjak salah satu boneka tersebut. “I love you,” kata boneka itu. Gaby tergagap, lalu ia berjongkok, mengambil boneka tersebut dan mulai menekan dadanya. “I love you,” kata boneka itu lagi. Gaby kembali menangis tersedu-sedu, sama seperti ketika ia kehilangan Joey. Ia mulai menekan dada boneka tersebut satu demi satu. Semuanya menyerukan kata yang sama: “I love you.” Gaby menahan napasnya. Atau mungkin ia benar-benar tak bisa bernapas saat itu. Tiba saatnya ia menekan dada boneka terakhir pemberian Joey, boneka yang Joey berikan ketika ulang tahun Gaby yang ke 16. Gaby memaksakan jemarinya untuk menekan dada boneka tersebut. “Hei malaikatku, terimakasih atas segalanya. Kesabaran, kasih sayang, dan ya... cinta. Maafkan aku yang telah membuatmu menunggu selama ini. Malaikatku, aku memang tak punya cukup keberanian untuk mengungkapkannya secara langsung. Tapi hei, setidaknya aku bisa mengungkapkan segalanya di sini. Aku ingin menggatakan bahwa.. ehm... aku mencintaimu, sejak dulu. Maaf atas segalanya. Sayang, aku mencintaimu. Maafkan aku. Tetaplah jadi malaikatku, tetaplah jadi penjaga hatiku. Aku mencintaimu Gaby Axelle Dionne Peterson,” Gaby kini benar-benar tak bisa bernapas. Lelaki itu merekam suaranya dan menyisipkan rekaman itu ke dalam boneka besar itu. Dan gadis yang berjalan bersama Joey waktu itu...... mungkin gadis yang menemaninya memilih boneka.
Ternyata... Joey selama ini juga mencintai Gaby, bahkan hingga akhir hayatnya. Lelaki itu mencintai Gaby hingga kematian menjemputnya. Lelaki itu mencintai Gaby, dan hanya Gaby. Gaby adalah gadis pertama dan terakhir yang ia cintai. Ia mencintai Gaby selama hidupnya. Namun Gaby? Kini ia tahu, arti kasih sayang yang sesungguhnya tidak harus diungkapkan. Selama kita saling memahami, menghargai, dan menyayangi satu sama lain, di sana pula lah arti kasih sayang yang sesungguhnya. Dan ia juga tahu bahwa.... penyesalan akan mengakhiri kecerobohan. “Aku mencintaimu Jonathan Eddie Roberts,” kata Gaby sebelum akhirnya pandangannya berubah hitam.
P.S: sayangilah semua orang yang mencintaimu, sebelum waktu mencitai mereka melebihi kau mencintainya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar