Persahabatan ini bisa disebut
persahabatan 2 sejoli yang sudah terjalin sangat lama. Mereka mulai bersahabat
semenjak orangtua dari keduanya saling mengenal akrab dan kebetulan rumah
mereka berdekatan. Namun, seiring berjalannya waktu, masa kanak-kanak mereka
kini telah dimakan olehnya. Gaby, gadis berambut pirang emas dan bermata hijau
itu kini mulai menyimpan secercah harapan lebih dari seorang teman kepada Joey,
sahabatnya. Joey adalah lelaki yang berusia 1 tahun lebih tua dari Gaby,
berambut dirty blonde dan bermata
abu-abu. Sang Dewi Cinta kini telah menaburkan cupid-cupid di antara mereka. Atau
mungkin hanya kepada Gaby atas Joey.
Perasaan itu mulai muncul ketika Gaby
menginjak usia 12 tahun. Bukan waktu yang singkat mengingat kini usianya hampir
16 tahun. Bodohnya, Joey hingga kini tak pernah menyadari akan perasaan gadis
itu. Joey setiap hari memberi hadiah boneka untuk Gaby. Ia memberi boneka yang
pertama ketika Gaby berulang tahun yang ke 15. Waktu itu, Gaby sangat senang
menerima hadiah itu, namun setelah beberapa bulan Gaby juga merasa bosan. Hingga
suatu hari, setelah keluarga mereka melakukan barbeque party di belakang rumah, “Joey!” panggil Gaby. “Ya?” jawab
lelaki itu dengan menggigit bibir bawahnya. Sinar remang bulan purnama di
tengah musim gugur ini menemani perbincangan dingin di antara keduanya. Gaby merapatkan
sweaternya. Ia menunduk. Sebentar kemudian, ia mengangkat wajahnya, namun
seperti kehilangan keberanian, ia justru kembali menunduk. Semakin dalam. “Ada
apa?” tanya Joey mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba saja menyergap di antara
keduanya. “Tidak,” jawab Gaby singkat, namun ia ragu akan jawaban yang baru
saja dilontarkannya. “Baiklah,” rangkum Joey lalu melangkah sedikit kaku
meninggalkan Gaby. “JOEY! AKU MENCINTAIMU, TAK SADARKAH KAU AKAN HAL ITU?!”
kata Gaby tiba-tiba. Langkah Joey terhenti mendengar kata-kata tersebut. Tenggorokannya
tercekat, namun ia mencoba untuk terlihat biasa dan tidak terkejut. Ia berbalik.
Lalu menatap Gaby lekat-lekat. “Aku tak pernah mengenal cinta. Menurutku jika
aku menyayangimu, dan kau juga menyayangiku. Kita juga saling memahami, itu
sudah melebihi cinta,” kata Joey dengan suara yang sedikit parau, meskipun ia
sudah mencoba setengah mati agar suaranya terdengar biasa saja. Gaby mulai
menangis. Joey menyadari kekeliruannya, namun ia tak menemukan kata-kata yang
tepat untuk meralat omongannya atau sekedar meminta maaf, jadi ia hanya
memutuskan untuk merangkul gadis itu, berharap semoga Gaby segera menghentikan
tangisnya. “Jangan peluk aku jika kau tak mengarapkanku,” kata Gaby lalu
menarik dirinya menjauhi Joey. “Hei ada apa?” tanya Joey heran. Gaby berlari
menuju rumahnya. Berharap lelaki itu akan mengejarnya, namun..... tidak.
Di sekolah, Gaby sama sekali tak berniat
berbicara pada Joey, meskipun hanya sebatas mengatakan ‘hai’. Joey mencoba
mengajaknya berbincang, namun gagal. Hari demi hari, Gaby mulai bisa melupakan
kejadian itu. Kini mereka telah menjadi sahabat lagi. Namun.... tak lebih. Maka
dari itu, Gaby mulai mencoba untuk mengubur perasaan sia-sia tersebut.
Suatu hari, pada hari ulang tahun Gaby
yang ke 16, di jalan dekat taman kota, ketika Gaby sedang berjalan-jalan, ia
melihat Joey berjalan dengan seorang gadis. Gaby mencoba menebak siapa gadis
itu. Cantik, berambut hitam kecoklatan dengan kulit putih, namun tak seputih
orang inggris seperti biasanya. Bukan keturunan asli inggris, batinnya. Mungkin
darah campuran asia-eropa. Gaby merasa ada sesuatu yang baru saja meninju
hatinya, ada sesuatu yang ingin keluar dari mata hijaunya. Ia merasa teriris. Ia
baru saja menyadari bahwa.... rasa itu masih ada, di dalam hati Gaby yang
paling dalam, yang selama ini ia coba untuk tutupi. Namun, ketika melihat Joey
bersama gadis itu, tembok yang Gaby bangun dengan susah payah telah ambruk
hanya dengan sekali sentakan. Gaby berlari pulang, berharap Joey tak
melihatnya, berharap Joey tak melihat air mata gadis itu tumpah di depannya,
untuk lebih tepatnya. Gaby menghabiskan sisa harinya di kamar. Menangis.
Kini malam telah menjemputnya, hari
pertamanya dengan usia 16 tahun telah dihancurkan oleh seorang Joey. Hati Gaby
kembali teriris. Ia mencoba untuk melupakan Joey dengan masalah-masalah yang
akhir-akhir ini menghujaminya. Setidaknya untuk beberapa hari ke depan, ia
ingin melupakan hiruk-pikuk Kota Leicester. Dering telepon genggam
menyadarkannya dari lamunan. Dari Joey. Gaby tak berniat mengangkatnya. Namun Joey
bukan sosok lelaki yang mudah menyerah, ia menelepon beberapa kali lagi, hingga
Gaby mengangkatnya. “Hey, bisakah kau keluar dan berjalanlah ke halte bus dekat
coffe shop sekarang? Ada sesuatu yang
ingin kuberikan,” kata seseorang dengan suara yang terdengar agak berat. Gaby menutup
telepon itu tanpa perlu menjawabnya. Ia membuka tirai jendela di kamarnya. Benar
saja, ia melihat Joey tengah berdiri di sana. Membawa sebuah..... boneka besar.
Teddy bear setinggi sekitar 5.5 kaki,
kira-kira setinggi tubuh Gaby. Dengan berat hati, Gaby menghampirinya. “Kukira
kau takkan datang karena kau marah kepadaku,” sapa Joey ketika ia telah
mendapati gadis yang diteleponnya tadi berdiri di depannya dalam balutan sebuah
piyama bermotif rumput dandelion dan
sebuah beanie putih. “Selamat ulang tahun,
Gaby. Kau akan menyukai ini, kujamin,” kata Joey sembari menyodorkan boneka
raksasa itu kepada Gaby dengan bangganya. “Dengar Joey, mungkin kau mengira aku
akan mengucapkan terimakasih dan menangis meraung-raung karena sangat bahagia,
mungkin kau juga mengira aku benar-benar akan menyukai hadian ini, namun tidak.
Takkan pernah! Kau dengan boneka-boneka bodoh itu hanyalah sebuah bayangan
untukku! Sebaiknya kau jangan menghubungiku lagi, anggap saja kita memang tak
pernah saling mengenal, dan takkan pernah lagi!” kata Gaby lalu melempar boneka
besar itu ke tengah jalan yang kebetulan sedang sepi. Joey terperangah
mendengar perkataan Gaby tersebut. Ia meneteskan air matanya. Lalu ia berjalan
ke tengah jalan dan mengambil boneka itu. Sebentar kemudian, ia berkata dengan
sisa-sisa tenaga yang dimilikinya, “Gaby, kudengar jika kita memohon pada hari
ulang tahun kita, segala permohonan akan dikabulkan. Kau telah memohon, dan aku
ingin mewujudkannya. Jika ini memang terakhir kalinya aku melihatmu dengan
mataku, jangan pernah menangis atau menyesal ketika aku pergi nanti.” Beberapa detik
setelah kata-kata itu meluncur dari mulut Joey, sebuah truk melintas, lalu Gaby
mendengar klakson yang berbunyi dengan sangat keras. “ JOEY, AWAS!” serunya,
namun Joey masih berdiri di tempatnya semula. “JOEEEYYY!!!” teriaknya.
Gaby terbangun dari tidur malamnya yang
terburuk. Hanya mimpi, gumamnya. Namun.... ia melihat boneka itu.... boneka
itu.... Gaby menahan napasnya sejenak. Ia lalu berjalan menuju jendela di
kamarnya yang menghadap langsung ke rumah Joey. Dengan perasaan yang tak
menentu, ia membuka tirai jendelanya perlahan-lahan dan ia mendapati banyak
sekali orang di rumah Joey. Lalu ia menutup mulutnya dan bergumam.... jadi...
ini bukan mimpi. Gaby menangis tersedu-sedu pada hari keduanya dengan umur 16
tahun. Ia benar-benar mencintai Joey. Dan kini, seseorang yang ia cintai itu
telah pergi, dan takkan pernah kembali lagi. Hatinya remuk bagai kaca yang baru
saja ditinju olehnya.
Ukiran batu kehancuran itu seakan menatap
Gaby yang hendak pergi menjauh. Gaby berbalas menatapnya, tenggorokannya
kembali terasa tercekat. Gaby menarik napas panjang, berharap mendapat
kelapangan hati untuk melepas Joey pergi, untuk selamanya. Namun, Gaby justru
merasa semakin lemah, ia terduduk di antara ratusan nisan dalam lautan duka. Gaby
kembali membaca nama yang tertera pada nisan tersebut untuk yang kesekian
kalinya, ingin mencoba memastikan bahwa itu bukanlah nama Joey. Namun yang
dilihatnya adalah.... “Jonathan E. Roberts”, nama Joey. Gaby merasakan raganya
berada di sana sekarang, namun tidak begitu dengan jiwa dan hatinya.
Beberapa bulan kemudian, Gaby mulai bisa
menerima kenyataan bahwa.... yah... entahlah. Hari ini, 4 tahun yang lalu
adalah hari ketika segalanya dimulai, di mana ia mulai menyimpan rasa kepada
Joey. Ia memutuskan untuk berada di rumahnya sepanjang hari ini dan tidak pergi
ke sekolah. Ia memandang tumpukan boneka pemberian Joey, lalu ia mulai
menghitungnya satu per satu, dengan balutan air mata tentunya. 365 buah....
batinnya. Genap 1 tahun Joey memberinya boneka untuk Gaby. Gaby melangkahkan
kakinya, namun tidak sengaja menginjak salah satu boneka tersebut. “I love you,”
kata boneka itu. Gaby tergagap, lalu ia berjongkok, mengambil boneka tersebut
dan mulai menekan dadanya. “I love you,” kata boneka itu lagi. Gaby kembali
menangis tersedu-sedu, sama seperti ketika ia kehilangan Joey. Ia mulai menekan
dada boneka tersebut satu demi satu. Semuanya menyerukan kata yang sama: “I
love you.” Gaby menahan napasnya. Atau mungkin ia benar-benar tak bisa bernapas
saat itu. Tiba saatnya ia menekan dada boneka terakhir pemberian Joey, boneka
yang Joey berikan ketika ulang tahun Gaby yang ke 16. Gaby memaksakan jemarinya
untuk menekan dada boneka tersebut. “Hei malaikatku, terimakasih atas
segalanya. Kesabaran, kasih sayang, dan ya... cinta. Maafkan aku yang telah
membuatmu menunggu selama ini. Malaikatku, aku memang tak punya cukup
keberanian untuk mengungkapkannya secara langsung. Tapi hei, setidaknya aku
bisa mengungkapkan segalanya di sini. Aku ingin menggatakan bahwa.. ehm... aku
mencintaimu, sejak dulu. Maaf atas segalanya. Sayang, aku mencintaimu. Maafkan aku.
Tetaplah jadi malaikatku, tetaplah jadi penjaga hatiku. Aku mencintaimu Gaby
Axelle Dionne Peterson,” Gaby kini benar-benar tak bisa bernapas. Lelaki itu
merekam suaranya dan menyisipkan rekaman itu ke dalam boneka besar itu. Dan gadis
yang berjalan bersama Joey waktu itu...... mungkin gadis yang menemaninya
memilih boneka.
Ternyata... Joey selama ini juga
mencintai Gaby, bahkan hingga akhir hayatnya. Lelaki itu mencintai Gaby hingga
kematian menjemputnya. Lelaki itu mencintai Gaby, dan hanya Gaby. Gaby adalah
gadis pertama dan terakhir yang ia cintai. Ia mencintai Gaby selama hidupnya. Namun
Gaby? Kini ia tahu, arti kasih sayang yang sesungguhnya tidak harus
diungkapkan. Selama kita saling memahami, menghargai, dan menyayangi satu sama
lain, di sana pula lah arti kasih sayang yang sesungguhnya. Dan ia juga tahu
bahwa.... penyesalan akan mengakhiri kecerobohan. “Aku mencintaimu Jonathan
Eddie Roberts,” kata Gaby sebelum akhirnya pandangannya berubah hitam.
P.S: sayangilah semua orang yang mencintaimu,
sebelum waktu mencitai mereka melebihi kau mencintainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar